Tuesday, November 13, 2012

Ringkasan Sirah Imam Nawawi bag 3


PENGUBURANNYA DAN USIANYA
Beliau dikuburkan pada hari Selasa ketika ma­tahari tergelincir.[18] Ada juga yang mengatakan, malam Rabu.[19]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meninggal pada usia 63 tahun. Ada yang berpendapat, pada usia 65 tahun. Ada juga yang mengatakan, 60 tahun. Namun, yang pertamalah yang lebih benar dan lebih masyhur. Ketiga pendapat itu dise­butkan dalam ash-Shahiih.[20]
Menurut para ulama, untuk mengkompromikan di antara riwayat-riwayat itu bahwa yang meriwayatkan 60 tahun tidak memasukkan tahun wafatnya, dan yang meriwayatkan 65 tahun memperhitungkan tahun kela­hiran dan wafatnya, sedangkan yang meriwayatkan 63 tidak memperhitungkan keduanya
Yang benar adalah 63 tahun. Demikian pula riwa­yat yang shahih tentang usia Abu Bakar [21], ’Umar [22], ’Ali [23] dan ’Aisyah [24], yaitu 63 tahun.
Al-Hakim Abu Ahmad -yaitu syaikh (guru) al-Hakim Abu ‘Abdillah- mengatakan, ”Ada yang me­ngatakan, Nabi dilahirkan pada hari Senin, diangkat sebagai Nabi pada hari Senin, berhijrah dari Makkah pada hari Senin, memasuki Madinah pada hari Senin, dan meninggal pada hari Senin.” [25]
Diriwayatkan bahwa Nabi dilahirkan dalam keadaan terkhitan lagi terputus tali pusarnya. [26]
Beliau dikafani dengan tiga pakaian putih[27], tanpa gamis dan serban, sebagaimana diriwayatkan dalam ash-Shahiihain.[28]
Al-Hakim Abu Ahmad mengatakan, “Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diletakkan di atas tempat tidur , dikafani, beliau diletakkan di atas tempat tidur di pinggir kubur, kemudian orang-orang masuk untuk menshalatinya secara bergelombang tanpa diimami oleh seorang pun. [29]
Orang yang pertama kali menshalati beliau adalah al-‘Abbas, kemudian Bani Hasyim, kemudian kaum Mu­hajirin, kemudian kaum Anshar, kemudian yang lainnya.
Ketika orang dewasa telah selesai menshalatkan, maka anak-anak masuk, kemudian wanita. Kemudian beliau dikuburkan, dan yang masuk ke dalam lubang kubur adalah al-’Abbas, ’Ali, al-Fadhl dan Qutsam kedua putera al-’Abbas, dan Syuqran.”
Ia melanjutkan, “Ada yang mengatakan, Usamah bin Zaid dan Aus bin Khauli [30] bersama mereka.”
Beliau dikuburkan dalam lahad[31], dan diletakkan batu bata padanya dalam lahadnya. Ada yang mengata­kan, tujuh batu bata, kemudian mereka menutupinya dengan tanah, menjadikan kuburnya meninggi[32], dan menyiraminya dengan arir. [33]
Ada yang mengatakan, al-Mughirah masuk di da­lamnya, tapi hal ini tidak shahih.
Al-Hakim Abu Ahmad mengatakan, “‘Abdullah, ayah Rasulullah meninggal saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berusia 28 bulan. Ada yang berpendapat, sembilan bulan. Ada yang mengatakan, tujuh bulan. Ada yang me­ngatakan, dua bulan. Dan ada juga yang mengatakan, ia meninggal saat beliau masih dalam kandungan. [34]Ia (ayah Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam) meninggal di Madinah. Al-Waqidi, dan sekretarisnya, Muhammad bin Sa’id, mengatakan, “Tidak ada bukti bahwa ia meninggal saat beliau masih dalam kandungan.” [35]
Kakeknya meninggal saat beliau berusia delapan tahun. Ada juga yang mengatakan, enam tahun [36], dan kakeknya mewasiatkan (pengasuhannya kepada Abu Thalib.
Ibu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal saat beliau berusia enam tahun. Ada yang berpendapat, empat tahun. la meninggal di Abwa’ -suatu tempat antara Makkah dan Madinah-.[37]
Beliau diutus sebagai Rasul kepada manusia seluruh­nya saat beliau berusia 40 tahun. Ada yang mengatakan, 40 tahun lebih sehari.[38]
Beliau bermukim di Makkah setelah kenabian sela­ma 13 tahun. Ada yang mengatakan, sepuluh tahun. Ada pula yang mengatakan, 15 tahun.[39] Kemudian, beliau berhijrah ke Madinah, lalu bermukim di sana selama sepu­luh tahun dengan tanpa diperselisihkan. Beliau tiba di Madinah pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal.[40]
Al-Hakim mengatakan, “Mula-mula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit di rumah Maimunah[41] pada hari Rabu, dua malam yang tersisa dari bulan Shafar.”[42]
Foot Note:
[18] Yakni, condong dari tengah langit ke arah barat, yaitu waktu Zhuhur.
[19] Al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan, ”Yang shahih bahwa be­liau masih berada di tempatnya pada hari Senin dan hari Selasa sepenuhnya, Serta beliau baru dikuburkan pada malam Rabu…” Ia mengatakan juga, ”Beliau dikubur pada malam Rabu, dan inilah pendapat yang dinashkan oleh lebih dari satu imam, baik salaf maupun khalaf…” Lihat al-Bidaayah wan Nihaayah (V/291, 292). Inilah pendapat yang dipegang oleh Khalifah bin Khayyath, sebagaimana dalam Taariikhnya (hal. 94).
[20] Lihat Shahiih al-Bukhari (3536, 4466) dan Shahiih Muslim (2347, 2348,2349).
[21] Shahiih Muslim (2348).
[22] Shahiih Muslim (2348).
[23] Lihat Taariikh al-Islaam, adz-Dzahabi, Ahdul Khulafaa-ir Raasyidiin (hal. 652).
[24] Lihat SiyarA’Iaamin Nubalaa’ (II/193).
[25] Keterangan ini diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas. Lihat al-Mus­nad (1/277), dan Dalaa-ilun Nubuwwah (VII/233).
[26] Apa yang disebutkan pengarang bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan dalam keadaan terkhitan lagi terputus tali pusarnya, mengenai hal ini terdapat hadits tidak shahih yang disebutkan oleh Ibnu al-Jauzi dalam al-Maudhu’aat. Ini bukanlah merupakan kekhu­susan beliau, karena banyak manusia dilahirkan dalam keadaan terkhitan. Demikian pernyataan Ibnul Qayyim. la juga menye­butkan pendapat kedua tentang khitannya, yaitu beliau dikhitan pada saat hatinya dibedah oleh Malaikat saat diasuh Halimah, ibu yang menyusuinya. la juga menyebutkan pendapat ketiga, yaitu bahwa kakeknya, ‘Abdul Muththalib, mengkhitannya pada hari ketujuhnya. Ia juga membuat jamuan untuknya dan menamainya dengan Muhammad. Inilah yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas. Adz-Dzahabi cenderung kepada pendapat ketiga, sebagaimana dalam as-Siirah an-Nabawiyyah dari Taariikhul Is­laam (hal. 27). Lihat pula ath- Thabaqaatul Kubraa (I/103), as-Siirah karya Ibnu Katsir (1/210), Zaadul Ma’aad, Ibnul Qayyim (1/81) dan Tuhfatul Mauduud, karyanya juga (hal. 121-125).
[27] Yang dimaksud dengan pakaian di sini ialah potongan kain.
[28] Lihat Shahiih al-Bukhari (1264, 1271, 1272, 1273, 1387), dan Shahiih Muslim (941).
[29] Al-Hafizh Ibnu Katsir mengatakan dalam al-Bidaayah wan Ni­haayah (V/286) “Bahwa mereka menshalati jenazah Rasulullah sendiri-sendiri tanpa diimami oleh seorang pun. Ini adalah perkara yang sudah disepakati, tidak ada perselisihan di dalam­nya. Yang diperselisihkan hanyalah tentang alasannya…” Asy Syafi’i mengatakan, “Mereka menshalati beliau gelombang demi gelombong secara sendiri-sendiri karena sedemikian agungnya beliau, dan karena (dikhawatirkan) mereka berlomba-lomba agar satu orang mengimami mereka untuk menshalati beliau.” Lihat al-Umm(1/244).
[30] Al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam al-Ishaabah (1/135), menukil tentang biografi Aus, dari Ibnu Ishaq bahwa ia menyebutkannya termasuk orang yang turun ke dalam kubur beliau, dan athThabrani meriwayatkannya dari jalur yang sama. Namun, di dalamnya terdapat kelemahan.
[31] Al-land (lahad), yaitu lubang pada sisi bagian kubur. Di antara yang menunjukkan bahwa beliau dibuatkan liang lahad lalu diletakkan batu bata di atasnya, ialah perkataan Sa’d bin Abi Waqqash, “Buatkanlah lahad untukku, dan letakkanlah batu bata di atasnya, sebagaimana yang dilakukan terhadap Rasu­lullah.” (HR. Muslim, no. 966)
[32] Diriwayatkan secara shahih bahwa kubur Nabi diundukkan (seperti punuk unta). Hal itu ditunjukkan oleh hadits yang diri­wayatkan al-Bukhari (1390) dari Sufyan at-Tammar, “Bahwa ia melihat kubur Nabi diundukkan.” Dari Jabir bin ‘Abdillah, “Bahwa Nabi dibuatkan lahad, lalu diletakkan batu bata di atas­nya, lalu kuburnya ditinggikan dari permukaan tanah sekitar satu jengkal.” Hadits ini diriwayatkan Ibnu Hibban dalam Shahiihnya (XIV/602). Syaikh Syu’aib al-Arna’uth mengatakan, “Sanadnya shahih sesuai syarat Muslim.”
Faedah: Tidak diperbolehkan meninggikan kubur dari per­mukaan tanah lebih dari sejengkal, dan diharamkan berlebih-lebihan dalam meninggikannya, membangun suatu bangunan di atasnya, memasang lampu di atas kubur, atau menjadikan kubur sebagai masjid (tempat ibadah), berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Jangan biarkan patung berhala, melainkan engkau hancur­kan, dan jangan biarkan kubur yang ditinggikan, melainkan engkau ratakan.” (Muslim, no. 666).

Dan akhir ucapan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum wafatnya adalah:
“Semoga Allah melaknat Yahudi dan Nasrani, mereka menja­dikan kubur para Nabi mereka sebagai tempat ibadah.”
Beliau memperingatkan terhadap apa yang mereka perbuat. (Muttafaq ‘alaih: al-Bukhari, 4443, dan Muslim, 529)
Sungguh besar prahara yang ditimbulkan oleh kubur di se­bagian negeri kaum Muslimin, dan banyak orang tersesat kare­nanya. Laa haula walaa quwwata illaa billaah. Mengenai hukum kubur yang terdapat dalam masjid: jika masjid itu sudah ada se­belum mayit dikuburkan, maka kuburan diubah dengan cara meratakan kuburan atau menggalinya lagi, jika masih baru. Jika masjidnya dibangun setelah kubur, maka masjidnya dihilangkan atau kuburnya dihilangkan.
Karena masjid yang berada di atas kubur itu tidak boleh dilakukan shalat fardhu atau sunnah di dalamnya, karena hal ini dilarang. (Dari ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, al-Fataawaa (XXII/ 195)).
Ketahuilah -semoga Allah memberi taufik kepadamu- bah­wa tidak ada hujjah bagi seorang pun dari pelaku bid’ah berke­naan dengan kubur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  berada di dalam masjid seka­rang ini. Bagaimana mungkin, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah memperingatkan hal itu!! Beliau semula dikubur di rumahnya di luar masjid, dan kuburnya tetap dalam keadaan seperti itu pada zaman Khulafa-ur Rasyidin dan sesudah mereka. Hingga ketika al-Walid bin ‘Abdul Malik menjabat sebagai gubernur Madinah, ia memerintahkan untuk meluaskan masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamdan perluasannya dari arah timur hingga kamar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam masjid pada tahun 88 H. Tindakannya bukanlah tindak­an yang benar, karena para imam telah mengingkarinya dan menilainya salah. Namun, ada hikmah dengan keberadaannya seperti itu, yaitu agar kaum awam tidak terfitnah ketika kamar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (seandainya) dikeluarkan dari masjid dan berubah dari kondisinya yang ada pada saat ini.
Lihat Tandziirus Saajid min Ittikhaadzil Qubuuri Masaajid, karya Syaikh al-Albani.
Disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Talkhtishul Ha­biir (II/133) dan ia mengatakan, “Dalam sanadnya terdapat al-Waqidi. Penulis al-Misykaah menisbatkannya kepada al-Baihaqi dalam Dalaa-ilun Nubuwwah (VII/264) dalam sanadnya terdapat al-Waqidi, dan ia matruk dalam periwayatan hadits. Tentang menyiram dengan air, juga diriwayatkan sebuah hadits yang terdapat dalam riwayat Ibnu Majah (1551) dari Abu Rafi’. Ia mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menurunkan jenazah Sa’ad ke lahad dan menyirami kuburnya dengan air.” Namun, sanadnya dha’if, sebagaimana dikatakan al-’Allamah al-Albani.
Ibnu Qudamah mengatakan dalam al-Mughnii (III/436), “Dianjurkan menyirami kubur dengan air, agar tanahnya men­jadi padat.”
[34] Pendapat yang dipilih jumhur ulama adalah bahwa ayah Nabi kita Muhammad yaitu ‘Abdullah bin `Abdul Muththalib, meninggal pada saat beliau masih berada dalam kandungan ibunya. Di antara ulama yang menguatkan pendapat ini, ialah Ibnul Qayyim, Ibnu Katsir, adz-Dzahabi, Ibnu Hajar dan Ib­nul Jauzi. Inilah zhahir firman-Nya:
“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu.”(QS. Adh-Dhuhaa: 6)
Yatim yang paling dikasihani dan paling tinggi tingkatan­nya ialah yang ayahnya meninggal saat ia masih berupa janin dalam perut ibunya. Al-Hakim meriwayatkan dari Qais bin Makhramah, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa ayah Rasu­lullah meninggal saat ibu beliau sedang mengandungnya. Al-Hakim mengatakan, pernyataan ini shahih sesuai syarat Muslim, dan disetujui oleh adz-Dzahabi. Lihat al-Mustadrak (II/605), Zaadul Ma’aad (I/76), al-Bidaayah wan Nihaayah (II/ 322, 323),as-Siirah karya adz-Dzahabi (hal. 50), Fat-hul Baari (VII/ 163), dan al-Wafaa bi Ahwaalil Mushthafaa (I/153).
[35] Pendapat yang dikuatkan al-Waqidi, dan sekretarisnya, Muham­mad bin Sa’d -sepanjang yang saya ketahui-: “Bahwa pendapat yang paling kuat adalah ‘Abdullah bin ‘Abdul Muththalib me­ninggal saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, berada dalam kandungan ibunya.” Ini berbeda dengan apa yang disebutkan oleh penulis buku ini, maka camkanlah. Lihatath-Thabaqaatul Kubraa (I/99), dan al­Bidaayah wan Nihaayah (II/323).
[36] Yang masyhur menurut ahli sirah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berusia delapan tahun saat kakeknya, ‘Abdul Muththalib, mening­gal.
[37] Saat ia pulang dari Madinah ke Makkah, setelah mengunjungi paman-paman ayah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pihak ibu, yaitu Bani Adi bin Najjar.
[38] Al-Hafizh Ibnu Haiar menegaskan dalam Fat-hul Baari (VII/ 164) bahwa usia Nabi ketika diberi wahyu adalah 40 tahun lebih enam bulan. Hal itu dengan mempertimbangkan apa yang dise­butkan dalam ash-Shahiih bahwa beliau diutus pada permulaan usia empat puluh tahun dan bahwa al-Qur-an turun kepada be­liau pada bulan Ramadhan, sedangkan menurut pendapat yang masyhur bahwa kelahirannya pada bulan Rabi’ul Awwal.
[39] Pendapat yang shahih adalah Nabi bermukim di Makkah sela­ma 13 tahun, yaitu setelah kenabian, berdasarkan apa yang diri­wayatkan Ibnu ‘Abbas. Ia mengatakan, “Diturunkan wahyu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau berusia 40 tahun, lalu beliau tinggal selama 13 tahun, kemudian beliau memerintahkan hijrah. Lalu beliau hijrah ke Madinah dan tinggal di sana selama sepuluh tahun, kemudian beliau wafat.” Diriwayatkan al Bukhari di beberapa tempat, di antaranya pada nomor 3851. Ini lebih shahih daripada apa yang diriwayatkan Muslim bahwa Nabi bermukim di Makkah selama 15 tahun, sebagaimana kata al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fat-hul Baari (VII/164). Aku katakan: Ini juga lebih shahih daripada apa yang diriwayatkan dalam Shahiih Muslim (2350) juga dari ‘Urwah bahwa Nabi me­netap di Makkah selama sepuluh tahun.
[40] Diriwayatkan dalam Shahiih al-Bukhari (3906) bahwa Nabi tiba di Madinah pada hari Senin bulan Rabi’ul Awwal. Namun, di­perselisihkan tentang tanggalnya. Ada yang mengatakan, 1, 2, 7, 13, 15, 22, dan yang masyhur adalah tanggal 12. Lihat Fat-hul Baari (VII/244).
[41] Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Fat-hul Baari (VIII/ 148), “Diriwayatkan ‘Abdur Razzaq dengan sanad shahih, dari Asma’ binti Umais, is mengatakan, “Mula-mula beliau merasa sakit saat berada di rumah Maimunah….”
[42] Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Fat-hul Baari (VIII/ 129), “Diperselisihkan tentang masa sakitnya. Mayoritas ulama berpendapat bahwa masa sakitnya selama tiga belas hari. Ada yang berpendapat, lebih sehari. Ada juga yang berpendapat, kurang sehari.”
Sumber: Buku “Ringkasan Kehidupan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam”, Imam an Nawawi, Ta’liq & Takhrij: Khalid bin Abdurrahman bin Hamd Asy-Syayi, Pustaka Ibnu Umar, Cet.1

0 komentar:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More