KELAHIRANNYA
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan pada tahun Gajah. Ada yang mengatakan, tiga puluh tahun setelahnya.
Al-Hakim Abu Ahmad mengatakan, “Ada yang mengatakan, empat puluh tahun setelahnya. Ada pula yang mengatakan, sepuluh tahun setelahnya.” Penjelasan ini diriwayatkan al-Hafizh Abul Qasim bin Asakir dalam Taariikh Dimasyq.”[12]
Ibrahim bin al-Mundzir al-Hizami, yaitu syaikh (gurunya) al-Bukhari, Khalifah bin Khayyath dan selainnya menukil ijma’ atas hal itu, dan mereka bersepakat bahwa beliau dilahirkan pada hari Senin[13] bulan Rabi’ul Awwal. Sementara itu mereka berbeda pendapat apakah pada hari kedua, kedelapan, kesepuluh, atau kedua belas? Ini adalah empat pendapat yang masyhur.[14]
Foot Note:
[12] (Hal. 53). Al-Hafizh adz-Dzahabi mengatakan, “Tidak mustahil bahwa kesalahan itu terjadi pada orang yang mengatakan tiga puluh tahun atau empat puluh tahun, seakan-akan ia hendak mengatakan hari, lalu ia mengatakan tahun.” As-Siirah (hal. 27).
[13] HR. Muslim dalam Shahiihnya (II/820) bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa hari Senin? Maka beliau menjawab,
“Senin adalah hari di mana aku dilahirkan, dan hari di mana wahyu diputuskan kepadaku.”
[14] Perbedaan pendapat mengenai masalah ini sangat tajam, dan tidak mungkin bisa diputuskan. Sebab masing-masing pendapat memiliki pendukung dari kalangan ulama. Di antara yang perlu diperingatkan di sini ialah kesalahan sebagian kaum muslimin ketika mengadakan berbagai perayaan untuk memperingati kelahiran beliau setiap tahun pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal. Ini adalah bid’ah yang mungkar. Dari segi pembatasan dengan tanggal dua belas, mengesankan bahwa inilah pendapat yang benar, padahal bukan yang paling benar. Kemudian andaikata benar, maka perayaan ini termasuk kemungkaran, karena Nabi tidak pernah melakukannya semasa hidupnya, tidak pernah pula dilakukan oleh para Sahabatnya sepeninggalnya, dan tidak pernah juga dilakukan oleh orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik (Tabi’in). Lihat tulisan Samahah asy-Syaikh al-`Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz tentang masalah ini, dalam risalah yang berjudul at- Tahdziir Minal Bida’.
—————————————————-
WAFATNYA
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat pada waktu Dhuha hari Senin[15], tanggal dua belas, malam[16] bulan Rabi’ul Awwal, tahun sebelas hijrah. Darinya dimulai sejarah, sebagaimana yang telah disebutkan.[17]
Foot Note:
[15] Sebagian ulama berpendapat bahwa Nabi meninggal setelah tergelincirnya matahari pada hari itu, dan itu bersandarkan pada zhahir hadits Anas bin Malik yang diriwayatkan al-Bukhari (4448), yang di dalamnya disebutkan, “Nabi meninggal pada akhir hari itu.” Ini menyelisihi berita yang masyhur bahwa beliau meninggal pada waktu Dhuha. Al-Hafizh Ibnu Hajar mengkompromikan di antara hal itu bahwa beliau meninggal pada saat matahari tergelincir, di mana waktu ini adalah puncak teriknya Dhuha, yang juga merupakan awal dari akhir hari. Dalam artian bahwa waktu ini adalah permulaan masuk di pertengahan kedua dari siang hari. (Fat-hul Baari, VIII/143-144).
[16] Para ulama bersepakat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal pada tahun sebelas hijrah, mereka juga bersepakat dalam penetapan bulan kematiannya, yaitu bulan Rabi’ul Awwal pada tahun itu. Mereka pun bersepakat bahwa itu terjadi pada hari Senin. Nyaris hal itu menjadi ijma’ dari mereka. Hanya saja, mereka berselisih mengenai tanggalnya. Sebagian dari mereka mengatakan, yaitu pada awal hari dari bulan itu (tanggal satu). Kelompok yang lain mengatakan, tanggal delapan. Kelompok yang lain mengatakan, tanggal delapan belas. Kelompok yang lain mengatakan, tanggal dua belas. Kelompok yang lain mengatakan, tanggal tiga belas, dan selainnya. Perselisihan mengenai hal ini sangat banyak, dan pendapat paling kuat yang saya dapati ada tiga pendapat:
1. Hari kedua, dan inilah pendapat yang dipegang oleh alHafizh Ibnu Hajar dan selainnya.
2. Tanggal 12, dan ini pendapat jumhur ulama.
3. Tanggal 13, dan inilah yang ditetapkan oleh Sebagian ulama. Pendapat ini diisyaratkan oleh beberapa orang ulama.
Lihat Fat-hul Baari (VII1/29, 130), al-Bidaayah wan Nihaayah (V/275-277), as-Siirah, adz-Dzahabi (568), Thabaqat IbnuSa’ad (II/272-274), Taariikh ath-Thabari (III/232), ‘Uyuunul Aatsaar, Ibnu Sayyidin Naas (II/432) dan Lathaa-iful Maa’arif (hal. 113).
[17] Yakni bahwa hijrah adalah permulaan sejarah Islam. Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Sebagian dari mereka menyerukan agar hijrah dijadikan sebagai momentum.” Ia mengatakan, “Permasalahan yang disepakati dan memungkinkan untuk dijadikan sebagai permulaan sejarah ada empat: Kelahirannya, pengangkatannya sebagai Rasul, hijrahnya dan wafatnya. Lalu yang paling kuat, menurut mereka, ialah mengawalinya dari hijrah. Karena kelahiran dan pengangkatan sebagai Rasul tidak lepas dari perbedaan dalam menentukan tahun. Adapun waktu wafat, maka mereka menolaknya, karena dengan mengingatnya akan menyebabkan kesedihan terhadapnya. Akhirnya, mereka menjatuhkan pilihan pada hijrah. Mereka mengakhirkan dari Rabi’ul Awwal ke al-Muharram, karena tekad untuk hijrah dimulai pada bulan Muharram. Sebab bai’at terjadi pada sela-sela bulan Dzul Hijjah, dan waktu tersebut merupakan pendahuluan hijrah. Dan juga awal hilal yang muncul setelah bai’at dan adanya tekad untuk hijrah adalah hilal Muharram, maka sangat tepat sekali bila ini dijadikan sebagai permulaan penanggalan. Inilah pendapat paling kuat yang saya jumpai tentang momentum memulai dari bulan Muharram.
Yang masyhur, bahwa yang mula-mula memulai penanggalan ini adalah ‘Umar bin al-Khaththab. Ada juga yang menyatakan, yaitu Ya’la bin Umayyah di Yaman. Lihat Shahiih al-Bukhari berikut syarahnya, Fat-hul Baari (VII/267-269), clanZaadulMaa’ad (111/316).
Sumber: Buku “Ringkasan Kehidupan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam”, Imam an Nawawi, Ta’liq & Takhrij: Khalid bin Abdurrahman bin Hamd Asy-Syayi, Pustaka Ibnu Umar, Cet.1
Artikel: www.kisahislam.net
Facebook: Kisah Teladan & Sejarah Islam
0 komentar:
Post a Comment