Bismilllah wa Al-Hamdulillah wa Al-Shalatu ala Rasulillah
Sesungguhnya, setiap ungkapan dan pernyataan yang keluar dari seorang muslim dan mukmin tidak boleh dilihat secara zahirnya saja, tanpa mengindahkan unsur keimanannya sama sekali. Tidak boleh serta merta kita katakan bahwa ia fasik, kafir, sesat, dan pembuat bidah (hal-hal yang baru dalam agama) sebab pernyataannya ini.
Keimanannya harus kita perhatikan dan kita jadikan kunci dalam memahami makna dari pernyataannya tersebut. Kita dianjurkan untuk memaknai pernyataan yang berbeda itu dengan makna tersirat yang tidak bertentangan dengan akidah maupun syariat Islam.
Misalnya seperti pernyataan seorang muslim bahwa Nabi Isa AS bisa menghidupkan orang mati. Pernyataan ini sama persis dengan umat Kristiani. Akan tetapi, makna pernyataan yang berasal dari seorang muslim tentunya ada tambahan “dengan seizin Allah SWT”. Berbeda dengan umat Kristiani yang memaknainya sebagai bukti ketuhanan Nabi Isa AS (Yesus).
Ini adalah kaedah umum untuk memahami pernyataan yang keluar dari seorang muslim yang terlihat seakan-akan menyalahi akidah dan syariat Islam. Pernyataan ini, syaratnya tidak jelas-jelas mengingkari salah satu ajaran pokok Islam yang telah maklum diketahui. Misalkan, muslim itu berkata: Allah ada dua atau shalat lima waktu tidak wajib.
Pernyataan yang masih samar-samar, antara bertentangan dengan syariat atau tidak, maka kita harus mendahulukan prasangka baik (husnuzan) dengan tetap mempelajari dan memperbandingkannya dengan syariat dan akidah Islam yang asli.
Pernyataan “Awal penciptaan adalah Nur Muhammad SAW?” bukan tidak ada dasarnya di dalam syariat Islam, akan tetapi ia berasal dari hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah RA. Yaitu, sabda Nabi SAW: “Makhluk yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah cahaya Nabimu wahai Jabir.”
Namun, hadis Jabir ini, kata Al-Allamah Abdullah bin Al-Shiddiq Al-Ghimari, telah dimungkarkan (bukan didhaifkan lagi) oleh para pakar hadis. Tersebutkan Imam Suyuti, Al-Hafidz Al-Shaghani, dan Al-Hafidz Al-Ajluni, telah menghukumi bahwa hadis tersebut adalah hadis palsu yang dibuat-buat (maudhu).
Hadis ini dikatakan berasal dari riwayat Abdurrazaq (imam hadis masyhur), akan tetapi rupa-rupanya hadis tersebut sama sekali bukan berasal darinya, tegas Syekh Al-Ghimari.
Sebagaimana yang maklum diketahui dalam ilmu hadis, hadis palsu (maudhu) adalah seburuk-buruknya tingkatan hadis. Hadis palsu (maudhu) bahkan lebih buruk dari hadis lemah (dhaif). Para pakar hadis mengatakan, hukum memalsukan hadis adalah haram dan berdosa sangat besar. Dalam teks sebuah hadis sahih secara jelas disebutkan bahwa balasannya adalah tempat di neraka.
Akan tetapi, Al-Muhaddis Sayyid Muhammad Allawy Al-Maliki menegaskan bahwa hadis ini tidak bisa dipastikan maudhu karena sebagian pakar hadis terdahulu jelas-jelas mengatakan bahwa hadis ini terdapat dalam kitab hadis (mushannaf) Imam Abdurrazaq. Ditambah editor (muhaqqiq) kitab tersebut mengakui bahwa naskah kitab tersebut hilang beberapa bagian alias sudah tidak lengkap lagi.
Meskipun begitu, makna hadis Jabir di atas bisa berarti sahih alias benar (meskipun hadisnya dihukumi palsu). Jadi, kata Al-Hafidz Al-Ajluni, keawalan di sini adalah dalam kategori cahaya saja, artinya cahaya yang pertama kali diciptakan oleh Allah SWT di antara cahaya-cahaya adalah cahaya Muhammad SAW.
Untuk makhluk selain cahaya, yang pertama kali diciptakan oleh-Nya adalah Al-Qalam dan Arsy --meskipun hal ini masyhur diperselisihkan oleh para ulama.
Al-Allamah Al-Dardiri Al-Maliki juga mengakui kesahihan makna hadis dan berkata bahwa cahaya Rasulullah SAW adalah asli penciptaan seluruh cahaya dan materi. Cahaya Rasulullah SAW ini berasal langsung dari Allah SWT sendiri.
Berkaitan dengan pensifatan Nabi SAW dengan cahaya, Nabi Muhammad SAW dalam beberapa ayat telah disifati oleh Allah SWT sebagai cahaya dengan lafaz “nur” dan “munir” (Al-Maidah: 15 dan Al-Ahzab: 46). Di dalam hadis-hadis juga disebutkan tentang melekatnya sifat cahaya kepada pribadi Rasulullah SAW. Disebutkan bahwa wajah Nabi SAW laksana bulan (Al-Nasai, Al-Tabrani, dan Ibnu Hajar).
Juga disebutkan bahwa ibunda Nabi SAW, ketika sedang mengandung janinnya yang suci dan mulia, melihat cahaya yang menerangi istana-istana di Syam (Al-Tabrani, Ibnu Hisyam, dan Abu Nu’aim). Disebutkan pula, bahwa Nabi SAW ketika memasuki Madinah maka menjadi teranglah semuanya (Ahmad, Al-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban).
Jadi, cahaya yang dimaksud di sini adalah cahaya maknawi ataukah cahaya jasadi? Kedua-duanya bisa jadi ada dan melekat dalam pribadi Rasulullah SAW. Selain Rasulullah SAW menerangi alam dengan cahaya keimanan kepada Allah SWT, beliau juga memiliki cahaya indrawi yang berasal dari pribadinya (diri dan jiwa) yang suci dan mulia.
Meskipun begitu, fakta yang ada bahwa Nabi SAW adalah manusia biasa seperti yang lain juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Bahkan, dalam Al-Quran telah nyata-nyata ditegaskan bahwa Nabi SAW adalah manusia biasa seperti manusia lainnya (Fushilat: 6).
Karena tidak menjadi masalah Nabi SAW sebagai seorang manusia biasa dalam satu sisi, dan di sisi lain beliau memiliki kelebihan (khususiyat) yang dianugrahkan oleh Allah SWT dengan memiliki sifat cahaya, baik maknawi maupun jasadi.
Mungkin saja, sebelum penciptaan segala sesuatu seperti Al-Qalam dan Arsy, Allah SWT menciptakan cahaya terlebih dahulu; yang mana cahaya tersebut akan menjadi unsur utama pembentuknya. Jika demikian, maka cahaya, yang merupakan awal penciptaan, yang pertama kali diciptakan oleh Allah SWT adalah cahaya Rasulullah Muhammad SAW.
Sehubungan dengan posisi Nabi Muhammad SAW yang sangat penting bagi penciptaan, sesungguhnya Allah SWT tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah (Al-Dzariyat: 56). Esensi ibadah sendiri berkaitan erat dengan hikmah penciptaan. Ibadah adalah proses pekerjaan yang membutuhkan pelaku, yakni orang yang beribadah (abid).
Sebaik-baiknya orang yang beribadah tidak salah lagi adalah Nabiyullah Muhammad SAW, karena beliaulah yang mengajari hakekat ibadah dan tauhid kepada Allah SWT.
Makhluk-makhluk lain (yang bukan manusia dan jin) seperti bumi, langit, dan segala isinya sejatinya diciptakan bagi maslahat manusia itu sendiri (Al-Jatsiyah: 13). Lagi-lagi, siapakah hakekat dari manusia dan sebaik-baiknya manusia (paling sempurna) jika tidak Nabi Muhammad SAW (Al-Insyiqaq: 6).
Jika demikian, maka Nabiyullah Muhammad SAW adalah asli dari penciptaan jin dan manusia, karena kedua jenis makhluk tersebut membutuhkan pribadi Rasulullah SAW yang mengajarkan hakekat ibadah dan tauhid di mana mereka diciptakan untuknya.
Begitu pula Nabiyullah Muhammad SAW adalah asli dari penciptaan alam semesta (dalam hal ini diwakili dengan langit dan bumi), karena penciptaannya tidak lain tidak bukan adalah untuk menghidupi manusia, terkhusus sebaik-baiknya manusia, yaitu Rasulullah SAW.
Hadis Jabir di atas memang dihukumi palsu, namun bukan berarti makna hadisnya menyalahi akidah Islam. Tidaklah salah Rasulullah SAW menjadi asal dari penciptaan karena beliau adalah sebaik-baiknya manusia dan makhluk ciptaan-Nya.Tidak salah juga Rasulullah SAW disifati dengan cahaya karena Al-Quran dan Hadis sendiri yang menegaskan hal itu.
Jadi, apakah asal penciptaan adalah Nur Muhammad? Iya
Wallahu A’lam bi Al-Shawab
Sumber : mujibabdurrahman.blogspot.com
0 komentar:
Post a Comment